December 16, 2011

The Day When I Lost You

creation by : Pradana Wulandari
 tittle : The Day When I Lost You
 genre : romance, drama
category : Teen
Type : Short Story 

Aku menatap keluar jendela. Terdiam dalam suasana bisu. Terhanyut dalam lamunan. Menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang lagi. Sesaat kemudian, air mataku turun. Rintikan kecil yang kini mulai membasahi kedua pipiku. Air mataku mulai deras ketika aku melihat fotonya. Hatiku bagai teriris melihat senyum itu. Lekas-lekas kubalik foto itu. Tapi sekeras apa pun kucoba dustai hati ini, aku tak dapat lari dari kenyataan. Getaran-getaran kecil mulai terjadi dalam hatiku. Dengan gemetar, kubalikkan kembali foto tadi. Kuambil dan kudekap foto itu. Aku merindukannya. Aku sangat sangat sangat merindukkannya.

Sudah seminggu ini aku tidak dapat tersenyum. Harusnya, hari itu hari yang bahagia. Harusnya dia masih di sini bersamaku. Harusnya aku tidak menangis sampai hari ini. Harusnya kami masih dapat berbicara. Harusnya.... ah banyak sekali hal yang harusnya kami dapat lakukan bersama.

Hari itu, 14 februari. Langit biru dan bersih. Suasana kota dipenuhi dengan aroma Valentine. Pasangan muda-mudi berjalan berdua-duan di sepanjang jalan. Sebagai model majalah remaja, tidak ada kata libur dalam kamusku. Kesibukkan yang mendera memang menyita banyak waktuku. Tetapi, waktu untuk keluarga kuusahakan untuk selalu ada. Dan juga, waktu untuk bertemu dengannya. Ya, aku juga selalu menyediakan waktu untuk Rando.

Rando dan aku adalah teman sejak kecil. Kami selalu bersama-sama untuk waktu yang lama. Sama seperti kebanyakan orang, aku dahulu memiliki keyakinan bahwa hubungan kami tidak akan berubah. Kami hanya akan menjadi teman sejak kecil sampai kapan pun. Tapi datanglah suatu waktu di mana aku tidak dapat membohongi perasaanku lebih lama. Aku mulai menyukainya di kelas 8. Kupikir perasaanku bertepuk sebelah tangan tapi ternyata dia punya perasaan yang sama denganku. Dan kami menjadi sepasang kekasih sejak itu.

Kembali ke suasana Valentine. Akhirnya aku sampai di lokasi pemotretan. Di luar dugaanku, pemotretan selesai lebih awal. Rando yang sejak awal sudah ada menemaniku pemotretan mengajak untuk pergi kencan. Aku tersenyum dan mengiyakan tawarannya. Kami pergi ke taman bermain dream world.

Saat itu aku tak pernah membayangkan akan kehilangannya. Kami menghabiskan sepanjang waktu di sana dan ketika pulang Rando mengajakku ke sebuah toko souvenir. Mataku tertuju pada sebuah liontin berbentuk hati. Liontin itu bisa di buka dan di isi dengan foto. Rando menghampiriku.

“kau suka liontin itu?” tanyanya.

Aku menganggukkan kepalaku. “Ya! Aku membayangkan pasti seru kalau kau dan aku sama-sama memiliki satu. Sayang, hanya ada satu di sini” jawabku.

Rando mengambil liontin itu dan tanpa berkata-kata langsung menuju kasir. Aku terkejut dengan apa yang dilakukan Rando, dan menghampirinya.

“Rando, kau mau membelinya?”

“tentu saja! Jika tidak langsung dibeli, nanti bisa-bisa habis dan tak ada yang tersisa untukmu lagi kan?” jawabnya. Tampak agak bingung dengan pertanyaanku sebelumnya. “kupakaikan ya?

Aku tersenyum dan membiarkan Rando memasangkan liontin itu di leherku. “terima kasih. Aku tak tau harus berkata apa”.

“Tidak masalah, tuan putri” balasnya tersenyum. “besok ulang tahunmu kan? Anggap saja ini salah satu kadoku.”

Aku membuka mataku lebih lebar, “salah satu? Maksudmu masih ada lagi?”
Rando menatapku lembut.”Iya. Tapi aku tidak dapat memberi tahumu sekarang”
Rando mengantarkan aku sampai ke depan rumah. Benar-benar tidak ada hal ganjal hari itu. Bahkan keesokkan harinya pun dia masih sempat menelfon ku sebelum aku ke lokasi pemotretan untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi semuanya berubah dalam hitungan jam.

Aku menunggunya di tempat yang telah kami putuskan untuk bertemu. 1 jam. 1,5 jam. Rando belum juga datang. E-mail dan sms ku tidak dibalas. Tidak pernah Rando sampai setelat ini. Biasanya justru Rando yang selalu menungguku. Telfonku juga tidak diangkatnya. Seketika kemudian aku mendapat feeling buruk. Aku berjalan ke luar restauran dan menuju rumahnya. Sepi. Tidak ada orang di sana. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah.

Di rumah, kulihat mom sedang terburu-buru, dan memakai pakaian rapi.
“mom, mau ke mana?” tanyaku.

Mom kaget melihatku. “Diana? Bagaimana keadaan Rando?”

“Keadaan Rando? Maksud mom?” aku balik bertanya. Jantungku tiba-tiba berdebar keras.

“Rando ditusuk oleh seseorang saat dalam perjalanan ke suatu tempat. Mom kira kamu sedang bersamanya".

Aku merasakan diriku tersambar kilat. Jantungku berdebar semakin keras. “mom aku ikut mom, ya?” aku menarik lengan mom. Mom mengiyakan dan kami segera menuju rumah sakit menaiki taxi. Dengan kecepatan tinggi akhirnya taxi mencapai rumah sakit dalam waktu yang cukup cepat. Setelah membayar, mom dan aku berlari ke dalam rumah sakit. Mencari kamar Rando di rawat dan bertemu auntie Clara. Dia sedang menangis di sana. Mom berusaha menenangkan auntie, sedangkan aku menatap kosong ke dalam kamar Rando.

Dia berbaring di sana. Ada seorang dokter dan beberapa perawat berusaha untuk membuat mata Rando yang masih tertutup agar terbuka. Aku tidak dapat bertahan lebih lama. Air mataku mulai turun cepat. Dalam hati aku berdoa agar Tuhan tidak mengambil Rando dari ku. Tapi sepertinya doa-doaku tidak terdengar Tuhan.
Dokter yang menangani Rando keluar dengan tatapan bersalah. Ya, Rando sudah tertidur. Tertidur untuk selamanya. Auntie clara menangis histeris dan berlari untuk melihat Rando. Dia tidak percaya dan tidak inging percaya bahwa Rando telah pergi. Begitu juga aku.

Jujurnya, aku tak dapat menggambarkan perasaanku hari itu. Tenagaku hilang mendadak dan aku jatuh terduduk. Mom membantuku berdiri. Dengan agak tertatih aku masuk ke dalam kamar Rando. Aku masih ingat persis keadaan di kamar itu. Tangis histeris auntie Clara, dan muka panik mom ketika auntie pingsan.

Aku menggenggam tangan Rando. Erat. Air mataku mengalir lebih deras. “rando bangun! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini. Kamu jahat meninggalkan aku di hari ulang tahunku. Katamu kita akan selalu bersama. Kamu pembohong”. Tapi, apa pun yang kukatakan dia tak akan lagi terbangun. Aku benar-benar terpukul. Rando selalu mendengarkan apa pun yang aku katakan. Dia akan berusaha melakukan apa pun yang aku minta. Tapi kali ini tidak begitu. Baik Tuhan maupun Rando, tidak ada satu pun dari mereka yang mendengarkan suaraku. Tak ada satu pun dari mereka yang mendengarkan tangisanku. Tak ada satu pun dari mereka yang peduli dengan kesedihanku saat ini.

Tiba waktunya untuk pulang. Seorang perawat menghampiriku dan menyerahkan kotak kecil yang dibungkus kertas kado pink berpita. Kotak itu tampaknya sudah penyok dan di atasnya ada namaku. Perawat itu menceritakan saat Rando berjuang untuk tetap hidup tadi dia menggenggam kotak ini erat-erat. Seakan takut terlepas darinya. Air mataku yang memang belum kering dari tadi seakan tidak berniat untuk kering. Air mataku mulai keluar lagi.

Sesampainya di rumah, aku membuka kotak yang diberikan perawat tadi dan aku sungguh terkejut melihat isinya. Sebuah cincin dari emas putih berbentuk bunga mawar yang sangat akku sukai. Ada sepenggal pesan pada secarik kertas dalam kotak itu.

Dear diana,
Happy birthday! Aku berharap kamu suka cincinnya. Aku tidak dapat menemukan cincin yang waktu itu sangat kamu inginkan dan melihat cincin ini. Kamu pernah bilang kamu suka mawar kan? Semoga ini juga masuk hitungan. Aku berharap, sampai sisa umurku aku dapat terus bersama denganmu
Enjoy the day, ya
Rando

Kali terakhir aku melihatnya. Kali terakhir aku bicara dengannya. Aku tidak akan melupakan semuanya. Aku tak akan melupakan semua kenangan bersamanya. Untuk saat-saat ini hingga beberapa saat mendatang aku tidak akan dapat seceria saat aku bersamanya dahulu. Tapi, aku janji, Rando. Suatu saat nanti aku akan tersenyum lagi. Senyum yang kupersembahkan untukmu.

No comments:

Post a Comment